Pendakian pemanasan, begitu saya
menyebutnya.Pemanasan setelah beberapa bulan tidak melakukan
pendakian.Pemanasan karena rencana tahun ini akan mendaki ke gunung
Rinjani sehabis lebaran. Hitung hitung cek fisik.
Gunung Ciremai akhirnya menjadi pilihan saya dan
kawan kawan.Setelah sebelumnya kami menimbang beberapa alternatif gunung
seperti Cikuray,Lawu,dan Papandayan.
Gunung tertinggi se Jawa Barat itu menjadi pilihan
karena memiliki trek yang konon katanya ekstrim dan menantang. Dari
ketiga jalur yang ada yaitu jalur Linggarjati,jalur Palutungan dan jalur
Apuy, kami memilih jalur Linggarjati.
Kami sepakat berkumpul di stasiun Cirebon. Saya
sendiri berangkat dari Jakarta, 3 kawan lainnya dari Cimahi dan satu
kawan cewek dari Bandung.
Sekitar pukul 2 siang kami baru bertemu di stasiun
Cirebon akibat keterlambatan kereta. Kami bergegas mencari angkot untuk
menuju Linggar jati. Supir angkot D5 yang kami tumpangi menawarkan untuk
langsung mengantarkan menuju pos pendakian Linggar jati dengan ongkos
80 ribu. Kami sepakat setelah nego untuk menjemput seorang kawan kami di
terminal Cirebon dan mampir di pasar untuk melengkapi perbekalan
pendakian.
Perjalanan menuju pos pendakian Linggar jati
memakan waktu kurang lebih satu jam. Melewati jalan menanjak, tak jarang
terlihat segerombolan monyet-monyet dipinggir jalan dekat lokasi wisata
yang saya lupa namanya.
Apabila naik kendaraan umum, pendaki hanya diantar
sampai museum Linggar jati dan harus jalan atau naik ojek menuju pos
pendakian yang jaraknya lumayan jauh.
Sampai di pos pendakian kondisinya sepi. Hanya ada
rombongan kami saat itu. Menurut penjaga pos, ada 1 rombongan yang sudah
naik malam sebelumnya sekitar 10 orang dari Jakarta.
Setelah proses ‘adat’ dengan urusan retribusi dan
dokumen, kami berangkat menuju pos pertama, Cibunar. Cibunar merupakan
desa terakhir dan disini pula sumber air terakhir bisa didapat. Melalu
jalanan beraspal, treking menanjak dengan kemiringan yang lumayan cukup
untuk pemanasan pendakian. Kami sebut itu trek selamat datang.
Di cibunar terdapat beberapa warung, bak penampung
air, toilet, mushola dan sebuah rumah singgah. Sewaktu kami sampai,
warung tersebut suddah tutup, hanya ada beberapa anak muda yang bermain
main di Cibunar.
Jam menunjukkan pukul 5, setelah mengisi air,
kami pun melanjutkan perjalanan menuju pos Kondang amis untuk bermalam.
Ada 11 pos yang harus kami lewati untuk sampai di puncak Ciremai. Pos
Kondang amis adalah pos ketiga, terdapat shelter yang lumayan besar dan
tempatnya luas,cukup untuk beberapa tenda.
Kami sampai sekitar pukul 8 malam. Kami langsung
bergerak mengambil tugas masing masing. 2 orang mengurus urusan dapur, 3
orang lainnya mendirikan tenda. Air hangat, kebutuhan pertama yang
harus dipenuhi untuk menghangatkan badan.
Tenda telah berdiri, makanan dan minuman telah
siap. Malam itu kami ngobrol sembari menghangatkan diri disekeliling api
unggun sambil lebih mengenal satu sama lain. Diantara kami ada yang
baru pertama kali mendaki dan juga bertemu.
Pagi setelah packing selesai kami bergegas menuju
pos berikutnya, pos Kuburan Kuda. Dalam bayangan saya, pos Kuburan Kuda
itu angker seperti kisah kisah mistis yang saya baca di internet. Dengan
treking yang yang terus menanjak dan sedikit ‘bonus’ sampailah kami
setelah sekitar 2 jam berjuang. Pos Kuburan Kuda tak begitu luas,
mungkin hanya muat 2 tenda dibawah dan 2 tenda di atas. Karena masih
pagi, suasananya tidak begitu angker.
Tak berlama lama kami istirahat di Kuburan Kuda. Treking panjang masih menanti kami di depan sana.
Jalan setapak, tanjakan berbatu, tanjakan akar
dan sekali lagi dengan sedikit ‘bonus’ terus menemani sepanjang
perjalanan. Tak jarang kami harus memanjat berpegangan akar atau apapun
yang bisa dipegang agar kami bisa sampai tujuan.
Tanjakan Seruni tak secantik namanya, kemiringannya
membuat lutut bekerja lebih keras dari biasanya. Jalur air, sempit dan
licin sempat membuat saya berguling guling ria.Hal tersebut juga terjadi
pada kawan lainnya yang jalan duluan.
Waktu
hampir menunjuk jam 12, namun kami belum menemukan lokasi yang cocok
untuk memasak makan siang. Setelah tanjakan Seruni, kami berencana makan
siang dan istirahat di Pos Bapa Tere.Awalnya kami mengira pos bapa Tere
layaknya pos lainnya. Dengan lokasi yang cukup lapang dan ada tempat
untuk mendirikan tenda. Namun, hal itu meleset, pos Bapa Tere berupa
jalur setapak dengan pemandangan tanjakan yang ‘wow’ didepan mata.
Kamipun terpaksa istirahat dijalur sempit itu, karena tak mungkin
melanjutkan perjalanan dengan perut yang kurang kondusif. Kami masak
logistik yang dibawa, nasi,sayur, makanan kaleng, dan telur adalah
makanan penambah energi untuk melewati tanjakan tanjakan berikutnya.
Selesai memasak, gerimis mulai menghampiri kami. Sambil berkemas, kami
menyantap makan siang dengan lahapnya. Tak lama, sejumlah pendaki
terlihat turun dari tanjakan Bapa Tere. Mereka rombongan dari jakarta
yang naik malam sebelum kami tiba di pos pendakian Linggar jati. Dari
informasi yang didapat,sekitar 2 jam lagi untuk sampai di pos berikutnya
yaitu Batu lingga.
Perut sudah terisi,energi penuh kembali,tanjakan
bapa tere menanti. Tanjakan kami dilalui dengan memanjat dan hanya ada
akar akar pohon buat pegangan.Kondisi tanah basah membuat kami harus
berhati hati dalam tiap langkah. Terpeleset sedikit, kami bisa
terjerembab ke bawah. Pohon pohon besar terlihat tumbang,entah karena
umur atau faktor alam lainnya.Hal itu membuat sedikit jalur pendakian
agak tertutup.Setelah sekitar 2 jam perjalanan kami sampai di pos Batu
Lingga.
Kami memutuskan untuk ngecamp di Batu Lingga dan
akan mendaki ke puncak jam 4 pagi karena kondisi fisik yang kurang
memungkinkan. Di Batu Lingga masih sekitar jam 5 sore. Ada banyak waktu
untuk istirahat menghimpun energi. Seperti biasa kami berbagi tugas
urusan dapur dan pendirian tenda. Batu Lingga tidak begitu luas, hanya
cukup untuk sekitar 4-5 tenda. Di samping kanan ada tempat penampung air
hujan sederhana terbuat dari plastik yang dipasak oleh ranting pohon.
Air tersebut bisa digunakan ketika ada pendaki dalam kondisi darurat
kehabisan air. Memang tidak bersih air dalam penampungan tersebut. Namun
dalam kondisi kepepet air bisa digunakan.
Usai makan malam, kami menyiapkan perbekalan untuk
summit attack besok pagi. Hanya satu tas ransel berisi logistik,
peralatan masak dan kamera yang kami bawa. Tak lupa air yang harus kami
manajemen sebaik mungkin agar tidak kekurangan ketika turun nanti.
Senter dan jas hujan menjadi alat wajib yang harus dibawa sendiri
sendiri.Setelah persiapan selesai, kami istirahat tidur pukul 8 malam.
Lelah, udara dingin dan suara alam seolah membawa kami menuju negeri
mimpi.
Tepat pukul 3 pagi kami bangun. Teh hangat dan roti
selai cukup untuk sarapan pagi itu. Kami bergegas menuju pos
berikutnya. Masih ada sekitar 4 pos lagi yang harus kami lalui. Berjalan
tanpa beban berat membuat langkah sedikit cepat meski jalur makin menanjak. Suasana yang masih gelap membuat membuat kami berkonsentrasi hanya untuk beberapa langkah kedepan.
Nampaknya perkiraan kami meleset, semula kami
kira perjalanan menuju puncak hanya sekitar 2 jam,namun kenyataannya 4
jam baru kami sampai di Puncak Panglongokan. Sunrise kami dapati setelah
pos Sanggabuana 2, itupun sang mentari tertutup awan. Di pos Pengasinan
hari sudah mulai terang. Tinggal satu trek lagi kami sampai puncak
Panglongokan. Ada satu rombongan yang bebarengan naik bersama kami.
Mereka dari Bandung. Yang ngecamp di bawah Batu Lingga.
Setelah berjuang selangkah demi selangkah,
akhirnya kami sampai puncak. Kami disambut kabut yang menutupi sebagian
kawah puncak Panglongokan. Disana sudah ada satu rombongan yang sampai
duluaan sedari tadi. Puncak Panglongokan Ciremai berupa tebing berbatu
mengelilingi kawah. Disisi lain merupakan puncak yang dilalui lewat
jalur Apuy dan Palutungan.
Tak banyak yang kami lakukan, kecuali memasak
bekal, foto foto dan menikmati pemandangan di ketinggian 3078 Mdpl dalam
kondisi sedikit berkabut. Minuman hangat dan cemilan menjadi pelengkap
kenikmatan pagi itu.Rasa capek setelah melewati tanjakan demi tanjakan
serasa meleleh digantikan ketakjuban yang luar biasa akan ciptaan Sang
Maha Pemilik Segala. Kami datang bukan untuk menaklukkan alam, kami
datang bukan untuk sombong telah menggapai puncak Mu, kami datang untuk
bersyukur atas apa yang telah Engkau ciptakan dan berikan pada kami.
Bahwa kami memang sangat kecil dihadapanMu.
0 komentar: