Pendakian Gunung Guntur 2249mdpl Garut Jawa Barat

http://www.garutkab.go.id/galleries/news/gunung%20guntur.jpg https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjE8R2sRKA9A4hnXLVjqMeBPvwECy4H9o4PgU1HWRbnPNhfGrOWyia3YcsVjhDSq84nK2DBqEKUT-qpkd6zvDPxOmo_njqlXJ-Pr2Y9F5mpuFd7sS7Gw0HHXrT3_xgUYyC9GOZJQZdbdmQ/s1600/DSCN0247.JPG
"SI PENDEK YANG MENANTANG"
Akhir pekan, tidak terlalu banyak gunung yang dapat dikunjungi dalam waktu hanya 2 hari. Terlebih jika kawasannya sangat jauh dari Jakarta. Sehingga lagi-lagi kota Garut menjadi tujuan utama kami.
Kota Garut memang menyimpan keindahan alam yang tak berbatas. Selain Gunung Papandayan dan Cikuray yang sudah cukup dikenal, ternyata masih ada satu lagi gunung indah di sana. Gunung Guntur atau biasa disebut warga setempat gunung Gede. Hasil penelusuran singkat sebelum memutuskan berangkat, saya mendapati bahwa gunung ini memiliki ciri khas yang cukup unik dibandingkan gunung lainnya di Garut, yaitu mayoritas konturnya berpasir dan berbatu serta hanya ditumbuhi rumput ilalang (sabana) yang cukup tinggi bahkan sampai ke puncaknya. Sungguh memesona. Wajar jika beberapa orang menyebutnya Rinjaninya Kota Garut.

Gunung yang terletak di Kampung Dukuh Desa Pananjung, Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut ini merupakan gunung api yang masih aktif meskipun aktivitas vulkaniknya cenderung menurun hingga kini. Namun pada tahun 1800 an, gunung ini merupakan gunung berapi paling aktif di Kota Garut dan letusan terbesarnya terjadi pada tahun 1840.
Ada beberapa yang menyebutkan bahwa Guntur adalah Rinjani-nya Kota Garut. Karena panoramanya sangat indah.Selain medan gunung yang menantang, Guntur juga dilengkapi dengan lembah, air terjun, sungai, panorama alam dan kawah.
Jumat pulang kantor seperti biasa, saya dan 6 orang teman lainnya berkumpul di Kp Rambutan. Dan langsung naik bus tujuan Garut dengan pemberhentian di pom bensin Tanjung, Garut dan masjid di dalamnya menjadi titik kumpul pertama. Kami tiba pukul 2 dini hari, sehingga sekedar merebahkan badan setelah melaksanakan 2 rakaat rasanya baik untuk kami mengumpulkan tenaga untuk tracking beberapa jam ke depan.
Jam menunjukkan pukul 5 pagi, setelah kami melakukan Shalat Subuh dan packing ulang, kami siap untuk memulai perjalanan melalui gang sebelah pom bensin yang merupakan awal mula jalur pendakiannya. Rejeki anak sholeh sholehah! Baru jalan kaki sedikit, langsung dapat tebengan truk. Sebenernya nebeng truk itu pilihan hidup dan mati. Jalur berpasirnya yang kayaknya gak cocok buat truk untuk memanjat dan berkelok dengan sisi kanan dan kiri jurang selain bikin mules, kalau lengah sedikit bisa kelempar keluar dari truknya. Tetapi karena dapat menghemat waktu selama 2 jam dengan berjalan kaki, alhasil kamipun menaikinya.

Kalau dilihat dari ketinggian Gunung Guntur 2249 MDPL, banyak orang yang meremehkannya. Sepertinya mudah saja untuk mendaki, bahkan pendaki pemula juga oke. Terlebih ketinggian gunung ini lebih rendah dari ketinggian Gunung Papapandayan (2665 MDPL) yang biasanya digunakan untuk sekedar camping ceria. Rasanya cukup untuk sekedar melepaskan rindu dengan tracking dan udara gunung. Terlebih saya saat itu baru saja sembuh dari demam selama 3 hari. Itupun setelah mendesak dokter untuk memberikan obat yang paling manjur yang dia punya agar dapat sembuh selama 3 hari saja. Walaupun sang dokter kala itu hanya tertawa mendengar permintaan saya, tetapi Alhamdulillah berkat ridho Allah SWT melaui obat dokter itupun saya siap bertempur setelah 3 hari sakit.
Tetapi… dugaan saya terpatahkan sesaat setelah saya berada sejak di kaki gunungnya pun.
Gunung Guntur memiliki kemiringan yang sangat curam dan material tanah berupa tanah pasir berbatu. Untuk stabilitas tanahnya wilayah ini tergolong labil, dengan tingkat kelongsoran tanah yang tinggi dan daya serap tanah yang cukup. Hal ini diperparah dengan pengrusakan yang dilakukan oleh para penambang pasir ilegal di kaki gunung ini. Terlihat betapa tandusnya kawasan kaki gunung ini sebagai akibat dari penambangan pasir tersebut.

Dengan bismillah saya melanjutkan tracking.

Ini adalah pendakian pertama ke Gunung Guntur untuk kami bertujuh, sehingga bermodal bismillah kami menyusuri track dengan track yang ada. Ternyata benar saja, ada dua jalur pendakian, yaitu jalur Curug Citiis 1-3 atau yang satu lagi jalur ikan asin (sebenarnya ini julukan dari saya sendiri, betapa tidak lewat jalur ini jalanan kering kerontang tanpa air, panas, dan pepohonan rindang hanya bisa dihitung dengan jari – persis seperti proses pembuatan ikan asin hehehe). Dan kenyataannya, kami melewati jalan ikan asin itu (Ini menjadi sangat penting, jangan lupa pakai sunblock!) Sedangkan yang lainnya ternyata banyak yang melewati jalur Curug Citiis yang lebih rindang walaupun tracknya luar biasa dasyat, jalur tracknya hamper mirip seperti Gunung Cikuray.

Jika mendaki gunung lain, team tidak akan terpecah, saling tunggu dan saling susul. Berbeda dengan pendakian Gunung Guntur, masing-masing memiliki metode sendiri untuk menjaga diri masing-masing agar tetap sanggup untuk mendaki. Bahkan saya menerapkan sistem 10:1, jadi 10 kali mendaki 1 kali berhenti untuk nafas lebih panjang. Tetapi sayangnya jalur pasir nan seru ini membuat perjalanan lebih istimewa, karena dengan mendaki 10 langkah, akan merosot 5 langkah.

Namun jangan salah, melewati jalur Curug juga hanya sampai batas Curug 3, setelah itu sama seperti jalur ikan asin yang kejemur luar biasa maha dasyat dengan nafas senin-kamis dan tidak ada sumber air lagi. Curug Citiis 3 adalah sumber air terakhir, yang berarti pendakian semakin berat karena harus mengambil air sebanyak-banyaknya biar tetap bertahan hidup selama di puncak. Dengan track nan aduhai dan stok berliter-liter air di gendongan membuat perjalann ini semakin menantang.

Seperti yang saya ungkap sebelumnya, jumlah pohon rindang bisa dihitung dengan jari, sehingga dirasa setiap pohon rindang kami anggapn sebagai pos untuk beristirahat sejenak dan bahkan sampe umpel-umpelan dengan pendaki lain yang juga lagi neduh dan istirahat saking jarangnya pohon rindang.

Semakin menuju puncak semakin miring juga jalannya, bahkan sampai hampir harus mencium tanah, karena sudah tidak bisa dibedakan kembali mana tanah untuk dipijak mana tanah untuk berpegangan. Bisa dibayangkan sistem 10:1 tadi akhirnya berubah menjadi 5:1 dengan paha dan betis yang saling bergema di setiap langkahnya (nyut-nyutan). Luas biasaaaa seruuu!

Tidak terasa 7 jam sudah berlalu (siapa bilang tidak terasa?), tibalah kami di puncak bersama 2 rekan saya yang lain. Dari situ kami tersedar, bahwa tendanya ada bersama 4 kami lainnya yang belum sampai puncak. Akhirnya dengan panas terik kami memulai memasak karena perut juga sudah terasa sangat lapar 4 bungkus indomie kami makan bersama 3 pendaki lain yang juga sedang menunggu rombongannya.
 
Lelah berubah menjadi rasa syukur saat melihat panorama indah dari atas sini. Kota Garut nan indah, terlihat lebih indah dari atas sini. Subhanallah.

Beberapa jam kemudian, 4 teman kami lainnya. Dengan sigap kami bekerjasama membangun tenda dan memasak untuk rekan kami yang baru tiba. Satu nilai plus lagi untuk hobi mendaki ini, bersosialisasi dan kerjasama dengan yang lainnya tanpa pamrih.

Malam tiba, terdengar di luar tenda riuh tertawa bersorak pendaki-pendaki yang sudah membangun tendanya. Bahkan salah satu rekan kami berkata bahwa pemandangan kota Garut sangat canti di malam hari dengan cahaya-cahaya lampunya yang menghias seperti bintang. Seperti sedang berada tengah langit, dengan kemilau bintang dari atas langit dan dari bawah dari cahaya lampu Kota Garut. Namun apa daya, karena badan kembali tidak enak. Padahal inilah yang dinantikan semua pendaki Gunung Guntur.

Setelah saya memutuskan untuk berada di dalam tenda, dingin malah semakin menggigit. Kulit terasa semakin kering terlebih setelah siangnya tersengat panas terik, terlebih di Puncak Gunung Guntur ini dehidrasi sangat tinggi karena tidak ada sumber air. Sehingga berpengaruh pada kulit yang juga dirasa butuh untuk meregenerasi dengan asupan yang cukup. Terbawa saat kebiasaan di rumah, caring moment pakai pelembab Nivea Night Whitening Body Serum pun saya lakukan di sini. Siapa bilang pendaki atau seorang backpacker ga boleh menjaga kulitnya. Bahkan akibat sengatan matahari langsung, kulit lebih cepat rusak dan harus cepat pula diperbaiki. Terlebih malam hari adalah saat yang paling aktif, bahkan 2 kali lebih aktif ber-regenerasi mengeluarkan hormon pertumbuhan yang berguna buat memperbaiki sel-sel yang rusak itu jika dirangsang dengan serum bervitamin C ini. Jadilah kebiasaan ini kebawa-bawa kemanapun, dan siap tidur berselimut sleeping bag hangat di malam hari.

Dan besoknya saya baru sadar, kalau kita baru di puncak 1 karena dari situ melihat puncak lainnya yaitu puncak 2, dan yang lebih terkejut lagi ternyata Guntur punya 4 puncak.

Karena saya ga sanggup, saya rasa tidak wajib sampai ke puncak 4 (ya daripada ga bisa turun lagi ya boooo ini udah pegel banget).
Pagi hari, saatnya berjumpa dengan sunrise yang indah.

It’s time to Turun Gunung!
Tanpa ragu-ragu, gunung Guntur saya nobatkan sebagai gunung yang lebih susah dituruni walaupun lebih pendek mdplnya dari gunung lain yang pernah didaki. Di Gunung Slamet manjat berjam-jam, turun bisa cuma 2 jam. Minimal bisa gelindingan. Sedangkan di Guntur, jangankan lari, gelesoran ngikutin kerikil saja masih sulit. Akhirnya saya memilih seperti turun dengan teknik perosotan sampai celana sobek di bagian belakang yang baru saya sadari saat hamper sudah sampai bawah. Hiks!

Setelah beberapa jam akhirnya, tibalah di bawah. Perjuangan maha Dasyat mendaki Gunung Guntur malah membuat saya rindu sesaat setelah mencapai kaki gunungnya. Dan suatu saat pasti akan melalukannya lagi, suatu saat.

"Catatan wajib: sarung tangan tebal, buff (penutup muka), dan sepatu di Gunung Guntur adalah wajib."
Share on Google Plus

0 komentar: